Jakarta – Dalam webinar lintas iman Minggu (20/6/2021), terungkap bahwa ruang digital menjadi pintu masuk paham radikal, khususnya di lingkungan milenial. Webinar ini diadakan oleh sebuah gerakan bernama Agama Cinta yang dipimpin Gus Sholeh MZ.
Ada banyak pembicara yang hadir, seperti para pemuka agama maupun akademisi yang berada di berbagai kota di Indonesia.
Dalam sambutan, Gus Sholeh mengingatkan pentingnya tokoh agama mengerti tentang wawasan kebangsaan dan moderasi beragama. Hal tersebut penting supaya para tokoh agama bisa memberikan pengajaran agama yang baik kepada para pengikutnya.
Dirinya merasa prihatin dengan kondisi bangsa, khususnya dengan paham radikal yang menyasar kalangan milenial. Gus Sholeh mengutip temuan yang diungkap BNPT, di mana 85% generasi milenial rentan terpapar radikalisme. “Ini harus menjadi perhatian bagi kita semua,” tegasnya.
Gus Sholeh MZ. (Foto: istimewa)
Keynote speaker, Mu’min Elmin (Dosen Hubungan Internasional Universitas Sulawesi Barat) mengawali pemaparannya menjelaskan terorisme muncul dari sebuah keyakinan yang kuat dan berawal dari paham radikal yang kemudian berkembang menjadi teroris.
Menurut Elmin, Indonesia saat ini sedang menghadapi homogenitas global. Kondisi tersebut membuat intensitas pergerakan manusia menjadi lebih besar, sekaligus pergerakan (perkembangan) dalam sektor ekonomi, politik, budaya, ideologi menjadi lebih cepat.
“Akhir-akhir ini kita rasakan di Indonesia marak muncul berbagai wacana yang sangat asing. Misalnya soal khilafah, penolakan Pancasila, haram hormat ada bendera merah putih. Itulah konsekuensi dari cultural flow atau ideology flow,” katanya.
Lebih jauh, Indonesia juga sedang mengalami penyusutan nasionalisme. Elmin menjelaskan salah satu indikatornya ketika Pilkada DKI Jakarta beberapa tahun lalu. Ketika itu, isu agama dijadikan senjata politik. “Yang menarik (saat itu), kontestasi Pilkada DKI ada di Jakarta tapi orang-orang yang terlibat menjatuhkan Ahok berasal dari seluruh Indonesia,” tuturnya.
Ruang digital, kata Elmin menjadi pintu masuk tumbuh suburnya radikalisme di Indonesia. Apalagi saat ini terjadi fenomena yang dinamakan patologi informasi, yaitu dunia yang disesaki banyaknya informasi.
“Salah satu dampak buruk, kemampuan otak manusia tidak membutuhkan banyak informasi, tapi manusia tidak kuasa menolak informasi yang masuk dalam memori. (Sehingga) otak manusia sudah dipenuhi banyak informasi yang tidak berguna sebenarnya,” ungkapnya.
“Efeknya? Otak menjadi malas melakukan verifikasi informasi. Ini yang membuat hoaks cepat berkembang,” lanjut Elmin.
Elmin mengatakan, tahun 2000-2010 gerakan radikalisme masuk melalui lembaga pendidikan. Namun semenjak 2010-ke atas, pola tersebut berubah dengan memanfaatkan ruang digital, seperti media sosial. “Di era digital orang tidak lagi radikal membaca buku, tapi karena mendapatkan informasi di sosial media. Misalnya ISIS menggunakan telegram,” jelasnya.
Dunia maya, lanjutnya bertindak sebagai “Echo Chamber” yaitu sebuah pola (algoritma) yang akan membuat timeline seseorang akan dipenuhi dengan segala sesuatu yang hanya berdasarkan minatnya saja.
“Semakin banyak kita mencari sesuatu, semakin banyak informasi yang direkomendasikan terkait apa yang kita cari yaitu yang sesuai dengan selera kita. Lama kelamaan itu akan membentuk gelembung udara, di mana informasi yang kita terima terus menerus hanya dari satu sisi. Sehingga kebenaran yang akan dilihat itu adalah kebenaran dari satu sisi seusai dengan prefensi kita,” katanya dan menambahkan ‘echo chamber’ bisa melahirkan ekslusivisme baru.
Elmin menuturkan dunia maya memungkinkan radikalisasi terjadi tanpa kontak fisik atau yang disebut dengan self radicalization. Hal ini rentan terjadi pada generasi milenial yang begitu akrab dengan dunia maya.
Elmin menjelaskan ada 3 hal yang dapat dilakukan untuk mencegah generasi milenial terpapar radikalisme yaitu pendidikan multikulturalisme (menjaga Pancasila sebagai common flatform), pendidikan literasi keagamaan dan literasi digital.