
Malang – Pemuda adalah aset alias calon pemimpin masa depan dalam gereja. Diperlukan berbagai daya dan upaya untuk mempersiapkan pemuda yang unggul dan dapat memimpin dalam gereja. Maxima Institute dalam Webinar “Menggerakkan Kepemimpinan Gereja Muda”, Kamis (20/5/2021) mengupas tentang apa saja yang perlu dilakukan untuk membangun Orang Muda Katolik (OMK) yang benar-benar berkarakter.
Hadir sebagai pembicara RD Yusuf Dimas (Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Malang dan pengajar di STFT Widya Sasana, Malang), Bertolomeus A.S Kowe CDD (Pastor Pendamping Mahasiswa Katolik se-Keuskupan Malang) dan Romo Greg Nugroho, CM Ph.D (Institute Pastoral Indonesia Malang dan pengajar di STFT Widya Sasana, Malang).
Romo Greg sebagai pembuka berbicara arti dari kepemimpinan dan pentingnya belajar kepemimpinan. Menurutnya, kepemimpinan harus dimulai dari diri sendiri dulu, setelah itu baru bisa memimpin orang lain sehingga benar-benar bisa memotivasi atau menginspirasi.
Memperkuat penjelasannya, Romo Greg turut mengajak secra virtual anggota DPRD Kediri yang paling muda dari Fraksi PDI Perjuangan Regina Nadya Suwono bercerita tentang pengalamannya sekaligus tujuan menjadi anggota DPRD.
Anggota DPRD Kediri Regina Nadya Suwono
Kemudian Bertolomeus dalam pemaparannya lebih banyak bercerita tentang pengalamannya mendampingi mahasiswa Katolik se-Keuskupan Malang. Dari pengamatannya, banyak OMK yang berharap gereja lebih terbuka (cair) dalam hal komunikasi sekaligus tidak pelit memberikan apresiasi.
Keuskupan Malang, kata Bertolomeus telah melakukan beberapa upaya untuk merangkup dan mendampingi para OMK. Pertama, mendirikan paguyuban mahasiswa di masing-masing paroki. Kedua, mendirikan Forum Keluarga Mahasiswa Katolik (FKMK) Kesukupan Malang. Ketiga, masing-masing biara di Keuskupan Malang mengirimkan satu romo/suster/frater untuk membantu mahasiswa. “Kedepan akan dibentuk paroki yang menampung mahasiswa, mulai dari pemimpin, pengurus dan anggotanya,” ungkapnya.
Di sisi lain, Romo Yusuf menjelaskan bahwa OMK adalah masa depan dari gereja Katolik karena mereka adalan calon pemimpin. OMK pada dasarnya bukan sebuah organisasi, tapi lebih pada jati diri seseorang.
“KWI membagi rentan usia OMK yaitu usia 13-35 tahun, sudah dibaptis Katolik dan belum menikah. (13-15 tahun disebut remaja), (16-19 tahun disebut taruna), (20-24 tahun disebut madya) dan (25-35 disebut karya),” urainya.
Romo Yusuf mengungkapkan, dalam sejarah Alkitab orang muda sudah ada sejak dulu yaitu diri Yesus sendiri. Menurutnya, dari berbagai litelatur yang ada Yesus mulai berkarya pada umur 30 tahun dan disalib sekitar umur 33 tahun. “Yesus memang Tuhan, tapi Yesus juga 100% manusia, untuk itu Dia menjadi bagian dari orang muda,” katanya.
Namun, lanjut Romo Yusuf, banyak OMK saat ini yang tidak sadar dengan statusnya sehingga tidak memahami dengan baik arti OMK yang melekat pada diri mereka. “Ini adalah fakta yang saya dapat dari penelitian kecil-kecilan saya untuk dekenat Malang Kota. Mereka berkumpul tapi mereka tidak sadar bahwa mereka orang muda, mereka kumpul hanya kumpul saja,” ceritanya.
Romo Yusuf mengatakan bahwa gereja harus mampu menggalakkan kaderisasi bagi para orang muda katolik. Hal ini perlu supaya mereka kembali menemukan jati diri (identitasnya) sebagai orang muda Katolik.
“OMK harus sadar bahwa mereka (identitasnya) adalah milik gereja dan gereja adalah miliku. Ketika identitas itu lepas maka OMK akan kehilangan kesadaran dan tidak akan mendapatkan dukungan dari gerejanya,” pesannya.
Romo Yusuf mengajak para OMK kembali bangkit dan berani serta militan dalam dunia pelayanan. OMK juga perlu peka dengan keadaan sekitar. “Peka dalam arti fanatik positif yaitu soal bagaimana OMK menghidupi imannya dan membela gereja. OMK, minimal harus mau dulu melayani baru akan sadar akan tugas dan pengutusannya menjadi garam dan terang dunia,” tuturnya.