Ketua Sinode GMIT Bicara Soal Tugas Panggilan Gereja Dimasa Pandemi

0
Pdt. Mery Kolimon
Ketua MS GMIT Pdt. Mery Kolimon. (Foto: Istimewa)

Salatiga – Dalam webinar yang digelar Senat Mahasiswa Fakultas Teologi UKSW, Sabtu (12/6/2021), Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Pdt. Dr. Mery Kolimon menceritakan tugas dan panggilan gereja dimasa pandemi.

“Di kami kalau membangun gereja itu benar-benar all out, bisa menghabiskan dana ratusan juta. Tapi ketika bencana kemarin (siklon seroja), banyak gereja yang rata dengan tanah di berbagai wilayah. Kami kemudian dipaksa untuk memeriksa kembali, apa sebenarnya misi gereja?,” kata Pdt. Mery.

Hadir sebagai narasumber, Guru Besar Fakultas Teologi UKDW Prof. Dr. J. B. Giyana Banawiratma, dan PKK RS Bethesda Yogyakarta Pdt. Fendi Susanto.

Pdt. Mery menjelaskan ada 2 kata kunci penting gereja di tengah pandemi. Seperti, mampu menjadi gereja yang resilent (tangguh bencana) dan mampu menjadi gereja yang agile yaitu lincah, tanggap, mampu bergerak cepat dan tidak gagap dalam melaksanakan amanat pengutusan.

Apa yang dikatakan Pdt. Mery merupakan refleksi dari pelayanannya di GMIT selama pandemi sekaligus bencana siklon seroja yang melanda NTT beberapa waktu lalu.

Baca juga:  Pdt. DR. Mulyadi Sulaeman: Antara Pandemi dan Gereja, Bersyukur di Tengah Tantangan

Pdt. Mery mengatakan dalam pandemi ini tugas panggilan gereja perlu direfresh kembali agar sejalan dengan kondisi yang ada. Pertama, persekutuan (koinonia). Persekutuan yang dimaksud bukan hanya mengadakan persekutuan secara online, melainkan lebih pada tetap membuat jemaat saling terhubung.

Di GMIT sendiri, kata Pdt. Mery juga memberikan pendidikan kepada jemaat agar tidak lagi memberikan label kepada orang yang terkena covid. Sebab di awal covid, orang dibully habis-habisan, sehingga drop bukan karena penyakitnta melainkan karena bullyan.

“(kami juga) membangun kapasitas para pendeta untuk dukungan psikososial awal melalui pelatihan-pelatihan guna menjangkau dan mendampingi umat yang terpapar covid,” jelasnya.

Kedua, pengajaran (marturia). Pdt. Mery menuturkan dimasa ini pengajaran bukan hanya sebatas firman Tuhan tapi juga meliputi pendidikan serta pengajaran tentang pentingnya protokol kesehatan Itu semua dibahas dengan dasar teologis yang jelas.

“(Konkritnya) gereja harus melakukan komunikasi publik kepada para jemaat dengan berbagai media. Dalam konteks NTT bahan edukasi harus diterjemahkan dalam berbagai bahasa daerah. Lalu melakukan kampanye memakai masker, rajin cuci tangan serta mau belajar dari perkembangan dan pengetahuan terkait pandemi dan kesehatan,” jelasnya.

Baca juga:  Dukung Pemerintah, GBI Victorious Family Setop Ibadah Onsite

Ketiga, pelayanan kasih (diakonia). Pdt. Mery mengatakan gereja harus berjuang untuk kepentingan bersama bukan hanya untuk kalangan Kristen saja. Hal tersebut bisa diwujudkan dalam pelayanan diakonia karitatif, reformatif dan transformatif.

“Misalnya diakonia transformatif. (Gereja bisa) melakukan kajian dan menyiapkan SOP pemanfaatan fasilitas gereja jika dibutuhkan pemerintah sebagai tempat pelayanan tanggap covid. (Gereja juga bisa) memantau kemungkinan peningkatan KDRT dan melakukan pendampingan terhadap korban KDRT,” paparnya.

Keempat, misi penatalayanan (oikonomia). Menurut Pdt. Mery, gereja saat ini harus memberdayakan anak muda khususnya yang memahami tentang dunia IT. Di sisi lain, gereja juga perlu mengajarkan jemaat supaya ramah alam.

“Pelayanan kita mesti pelayanan yang holistik, mencakup semua bidang hidup manusia (kerohanian, budaya, ekonomi, pertanian, hukum, poltik, pendidikan, kesehatan, HAM). Perlu juga spiritualitas keugaharian yaitu hidup sederhana, dan ramah alam,” pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here