Mata Elang (matel) merupakan julukan untuk para penagih hutang yang ada di pinggiran jalan untuk melihat plat nomor kendaraan yang telah tercatat pemiliknya menunggak bayar cicilan.
Para Matel biasanya langsung mengambil dengan caranya setiap menemukan kendaraan bermotor yang pemiliknya menunggak. Kadang, cara-cara tegas tidak dapat terhindarkan saat Matel melakukan pekerjaannya.
Media ini bertemu dengan seorang anak Tuhan, bernama Hodlif Hun, yang perusahaannya melayani masalah penagihan hutang, khususnya yang berhutan (menunggak) bayar kendaraan bermotor, khusus kedaraan roda dua atau yang sering disebut Matel.
Sebelum membuka perusahaan yang melayani penagih hutang, Hodlif Hun, menceriterakan darimana ia berasal. “Lahir dari keluarga yang berkekurangan di kota Niki-Niki, NTT. Saya lahir dari keluarga yang sudah Kristen, Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), dan tumbuh besar dalam lingkungan Gereja,”kata pria yang memiliki 11 bersaudara ini.
Hodlif Hun, mengaku hidup dalam keluarga GPdI tulen, yang sering menyaksikan orangtuanya benar-benar mengandalkan Tuhan. Bila tidak ada masalah, termasuk sakit, solusi yang diambil adalah datang ke gereja dan berdoa. Benar, setelah itu ada keluar termasuk menerima kesembuhan.
“Kalau ada diantara kami bicara kotor (memaki) pasti bibir kami dikasih cabe oleh mama. Kalau merokok didoakan mulut bengkak, dan terjadi,”ungkapnya.
Beranjak dewasa, Hodlif Hun, menjadi pria yang nakal. “Saya itu terkenal nakal banget, guru-guru saya pukul. Walau begitu tetap rajin ke gereja. Tiap hari kalau enggak di pos polisi, ya diusir sama orang tua,” ceritanya.
Melihat kehidupan yang tidak ada tanda-tanda, Hodlif Hun memberanikan diri merantau ke Pulau Jawa, khususnya ke Jepara, dengan satu keinginan untuk merubah nasibnya menjadi lebih baik.
Setibanya di Jepara, Hodlif Hun ikut sang kakak yang menjadi pengerja di GPdI. Pekerjaan utamanya, membantu kakaknya ngepel aula yang besar. Saat itu yang dirasakan bukan mengejar mimpi tetapi malah hidup terasa berat.
Walau begitu, Hodlif Hun, tetap menjalaninya dengan syukur. Apalagi, ia memiliki keahlian main gitar, bisa terlibat melayani dalam ibadah. “Tapi tidak dapat Persembahan Kasih (PK) dari gembala, melainkan dari jemaat secara sukarela. Puji Tuhan, PK yang saya peroleh, cukup untuk digunakan kebutuhan hari-hari,” tuturnya.
Makin lama melayani Tuhan di GPdI, tiba-tba datang sebuah keinginan untuk menempuh Sekolah Alkitab di Beji Batu Malang, milik GPdI. Keinginannya itu menjadi kenyataan, masuk tahun 1995, Angkatan 41.
Sayang seribu sayang, Hodlif Hun, saat membutuhkan uang, tidak ijin dari pihak sekolah (bolos) pergi ke Jepara dengan maksud untuk main musi dan akan mendapatkan PK dari jemaat untuk kebutuhan selama di Sekolah Alkitab (SA).
“Di SA dapat makanan tapi sedikit, akhirnya setiap hari tambahannya makannya Indomie rebus,” katanya.
Setelah tiba dari SA, usai membolos ke Jepara, Hodlif Hun, sudah tidak diijinkan untuk melanjutkan SA Beji Batu Malang. Saat itu ia sempat bertahan satu malam di terminal Bungur Asih Surabaya, karena galau dan tidak tahu harus kemana.
Hodlif Hun, memutuskan Kembali ke Jepara, dan pamit ke Jakarta tanpa tahu mau bekerja apa. Di Jakarta, hidupnya harus diperhadapkan dengan kerasnya Jakarta. “Saya ke Gereja tidak pernah tinggalin. Jadi hari Minggu pagi setengah enam saya ikut kebaktian di GPdI Ketapang,” terangnya.
Saat mengikuti ibadah, Hodlif Hun, mendengarkan firman Tuhan yang disampaikan tentang penjala ikan. Hatinya tersentuh dan terpanggil untuk benar-benar hidup di dalam Tuhan. Ia makin aktif, dan mendapatkan kesempatan menjadi singer serta rutin ikut dalam ibadah anak rantau.
Hodlif Hun bersama keluarga. (Foto: Facebook Hodlif Hun)
Saat kehidupannya makin setia pada Tuhan, tantangan berat harus dihadapinya, ia terlilit hutang Rp 91 juta. “Saya stres, mau bangun tidur saja takut karena pasti ditagih. Saya ambil keputusan untuk doa puasa tiga hari tiga malam. Pertolongan Tuhan nyata. Saya tiba-tiba ditelepon teman yang sudah lama tidak ketemu. Di ujung telepon teman itu minta bantuan untuk menagih hutang sebesar Rp 900 juta (kalau berhasil saya akan diberikan fee),” cerita Hodlif.
Hodlif Hun menjalankan tugasnya untuk menjadi penagih hutang. Tapi dilakukannya dengan prinsip firman Tuhan, penuh kasih dan lemah lembut. Hasilnya, hanya dalam waktu yang singkat, si penghutang mau membayar, dan fee yang diperolehnya dipakai untuk membayar hutangnya,
“Saya pengen seperti Bangsa Israel. Saya ingin nagih dengan tidak ribut tapi saya maunya orang itu takut dan membayar hutang itu,” tuturnya.
Bekerja Sebagai Penagih Hutang (MATA ELANG)
Sukses menagih hutang membuat Hodlif Hun, makin bersemangat untuk mengembangkannya dengan membuka usaha sebagai penagih hutang. Sekarang lebih dikenal ‘mata elang’ yang gaya menagih orang-orang di perusahaannya berbeda dengan yang lainnya.
Sebelum membuka perusahaan itu, Hodlif Hun, terlebih dahulu bertanya kepada gembala di gerejanya. Dan mendapatkan wejangan, “(Kata gembala), yang penting kalian (saya) melakukan sesuai dengan prosedur artinya arahkan mereka (yang berhutang) untuk membayar dengan tidak rebut-ribut. Itu sama juga menolong yang berhutang, soalnya dalam agama juga kalau hutang tidak dibayar ya, berdosa,”kata gembala kepadanya.
Lewat perusahaan yang dipimpinnya Hodlif ingin memberikan pesan kepada masyarakat bahwa tidak semua Mata Elang atau debt collector kasar atau kejam. “Sebab dengan memakai cara-cara yang dikehendaki Tuhan maka jalan akan dibukakan,” tuturnya.
“Puji Tuhan saya jalankan dengan baik. (Walaupun) banyak hal yang saya alami, kadang di kepung massa. Tapi saya punya jimat satu saja yaitu darah Yesus. Dalam nama Yesus dan saya alami semua itu berjalan dengan baik,” ungkapnya.
Di sisi lain, Hodlif Hun, juga ingin memberikan pesan bahwa masyarakat jangan hanya lihat dari sisi penagih hutangnya tapi juga dari konsumen yang berhutang. Sebab dari pengalamannya, memang banyak konsumen yang dengan sengaja nakal, menggunakan banyak modus untuk tidak membayar hutang.
“Memang banyak pro kontra ya, tetapi memang kalau kita ikutin benar kronologinya, memang debiturnya, konsumen ini juga nakal. (ketika ambil kendaraan) mereka ini banyak modus. Ketika didatangi ke rumahnya, (debt collector) malah dikeroyok. Kecurangan-kecurangan (para debitur) itulah yang akhirnya memunculkan Mata Elang,” paparnya.
Hodlif Hun selalu menekankan kepada anak buahnya yang kira-kira berjumlah 100 orang untuk menagih dengan cara-cara yang santun yaitu melalui komunikasi yang baik dan diskusi. “Untuk itu saya minta mereka rajib beribadah, berdoa. Kalau yang Kristen, saya ajak ngumpul untuk berdoa,”ceriteranya
“Kalau kita akan bertemu dengan konsumen kita ajak dia ke kantor, baik-baik dikasih penerangan. Setelah selesai, kita bikin perjanjian atau kalau mau tiap-tiap unit kita kasih surat apabila selesai, ya sudah motornya diambil lagi yang penting selesaikan tanggunggung jawabnya,” katanya.
Hodlif Hun mengaku tidak pernah kenal lelah untuk selalu menekankan para anak buahnya taat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. “Saya minta mereka berdoa, minta Tuhan untuk jaga, untuk diberkati dan untuk dapat melakukan yang baik, karena prinsip kita banyak doa banyak berkat, jadi saya arahkan mereka untuk ibadah,” tuturnya.